Selepas menyandang status pengangguran, saya tak
segera mendapatkan pekerjaan. Sementara satu persatu kolega mulai mendapatkan pekerjaan
atau kesibukan baru.
Pada awalnya, saya masih bersemangat dan berpikiran
positif. Saya juga selalu antusias jika mendengar ada mantan kolega yang sudah
mendapatkan pekerjaan baru. Tak hanya senang melihat yang bersangkutan sudah
keluar dari kesulitan, itu juga berarti saya punya channel baru di suatu perusahaan sehingga saya bisa menitipkan CV. Setelah tak mendapatkan tawaran yang solid setelah beberapa bulan, saya sebenarnya sempat mempertanyakan kemampuan diri saya sendiri dan apa added value yang bisa saya tawarkan kepada calon employer. Dari semuanya, saat-saat mempertanyakan self-worth inilah yang paling sulit. Alhamdulillah, di saat saya merasa down, selalu ada hal-hal yang kembali menaikkan rasa percaya diri saya.
Saya sendiri sebenarnya beberapa kali mendapatkan respon dari aplikasi yang
saya kirim, kebanyakan dari Jakarta, dan ada pula yang dari Belanda, negara
yang saya anggap sebagai rumah ke-2 saya. Kebanyakan dari mereka tidak memberi
kabar lagi setelah melakukan interview kecuali yang dari Belanda. Sudah
merupakan suatu kebiasaan (atau budaya) di Belanda bahwa setiap interview harus
ditindaklanjuti oleh feedback untuk
menghindari ambiguitas. Di Indonesia tidak begitu. Jika tidak ada kabar,
kemungkinan besar perusahaan yang kita lamar belum berminat.
Tapi tidak
seluruhnya juga yang demikian. Sebelum memasuki perusahaan X yang akhirnya me-layoff saya ini, saya juga menjalani
proses rekrutmen di perusahaan C yang merupakan perusahaan yang paling saya
inginkan. Saya tidak mendengar kabar lagi dari mereka seteah 2 bulan sejak
menjalani medical check-up. Pada saat
saya sudah deal dengan X, C lalu
memanggil. Saya harus menolak walaupun sebenarnya paket mereka sedikit lebih
bagus. Alasan lain penolakan saya adalah, saya diberikan jabatan dan tempat
bekerja yang tidak sesuai dengan yang saya inginkan. Sudahlah, namanya bukan
rezeki.
Apa saya menyesal sekarang ini? Entahlah. Setiap kali
saya menceritakan kepada orang lain tentang hal ini, kebanyakan dari mereka
akan menyesalkan keputusan saya. Biarkan, saya yang paling tahu apa yang
membuat saya senang, kok. Beruntung saya punya keluarga yang selalu suportif
kepada saya sehingga saya selalu merasa nyaman dengan keadaan saya.
Singkat cerita, saya berhasil mendapatkan panggilan
untuk interview, tapi ada beberapa yang tidak akan saya lupakan.
Perusahaan
A
Ini adalah interview yang difasilitasi oleh seorang
agen dari Singapura. Semua prosesnya serba cepat. Si agen berhasil mendapatkan
jadwal interview untuk saya, tapi dia tidak menjelaskan detailnya, untuk
project apa, dan termasuk nama orang dan fungsi yang meng-interview saya. Dan
semuanya dilakukan dengan telepon, bukan email. Saya adalah orang yang nyaman
dengan segala sesuatu yang ada hitam di atas putihnya. Jika tahu nama dan
fungsi pewawancara, saya bisa kepo-in
mereka di Linkedin untuk mendapatkan gambaran tentang latar belakang mereka. Gak hanya mereka yang akan mewawancara
saya, saya juga harus mewawancarai mereka.
Pada jam yang telah disepakati, saya mendapat
panggilan telepon untuk interview (kami sepakat untuk phone interview). Ada 3 orang pewawancara saya.
- Ternyata mereka menanyakan hal teknis yang sangat
detail, seperti temperatur dan tekanan pada reaksi pembentukan ammonia. Saya dengan
jujur mengatakan bahwa saya mengerjakan itu sudah lama sekali dan saya memang
tidak berusaha mengingatnya.
- Pewawancara lain dengan aksen Jawa yang sangat kental
bersikeras menguji kemampuan Bahasa Inggris saya. Jujur, saya agak kesulitan pada
saat itu karena saya bahkan tidak bisa menangkap apa yang dia katakan.
- Lalu si pewawancara dari HR menanyakan apa yang saya
lakukan setelah lulus sampai mendapatkan pekerjaan saya yang pertama sekali.
Hmm, bukankah hal itu sudah lama. Mungkin akan lebih relevan jika dia
menanyakan apa yang saya lakukan semasa menganggur.
Terus terang,
saya agak kehilangan semangat melanjutkan proses rekrutmen. Dan gayung
bersambut, mereka pun tidak memanggil saya lagi, hehe.
Perusahaan B
Setelah 2 hari
mengirimkan aplikasi, saya dipanggil untuk interview oleh HR officer yang
bernama A. Saya mengiyakan. Lalu, saya pun disuruh menyiapkan berbagai macam
formulir isian dan mengirimkannya sebelum jadwal interview.
Saya pun berhasil
mendapatkan tiket Padang-Jakarta. Pada hari H, saya langsung berangkat ke
kantor B dari bandara, lengkap dengan gembolan besar karena saya berniat
menginap di Jakarta selama 1 malam. Sesampai di kantor B dan melewati
pengamanan yang sangat lemah, saya menuju resepsionis. Saya meminta supaya bisa
tertemu dengan A.
Setengah jam
menunggu, A keluar. Hebatnya, dia lupa siapa saya dan dia bahkan tidak ingat kalau
dia menjadwalkan interview buat saya pada hari itu. Saya langsung tahu bahwa saya
tak ingin bekerja di perusahaan seperti itu. Karena tak ingin menghakimi
mereka, saya pun melanjutkan sesi interview.
Sesi pertama
diisi oleh tes psikologi menggambar pohon dan kepribadian dengan buku soal yang
sudah sangat lecek. Kertas jawaban saya pun berupa kertas bekas yang dibaliknya
sudah ada tulisan. Tapi saya berprasangka baik bahwa mereka sedang melestarikan
lingkungan dengan menghemat kertas. Bagus juga, paling gak, saya gak melihat
poster-poster kertas tentang penghematan kertas di bagian kantor itu. Di tempat
lain, saya pernah menemukan kampanye penghematan kertas yang ternyata malah boros
kertas. Iya kalau kertas daur ulang, itu malah pakai kertas baru HVS 80 gram yang biasa dipakai untuk fotokopi.
Sesi kedua
adalah wawancara teknikal. Semuanya berjalan lancar walaupun calon user saya
mengatakan berkali-kali bahwa dia takut saya tidak betah bekerja di sana. Satu
engineer yang lebih muda juga hadir pada waktu itu. Saya cukup respek padanya
karena logikanya bagus. Saya harap dia akan mendapat karir yang cemerlang di
masa mendatang.
Sesi ketiga
seharusnya dengan A lagi, tapi tidak jadi karena A sudah pergi ke mall. Lalu A
digantikan oleh F. Pada awalnya, F terlihat simpatik dan lebih berpendidikan.
Saya mulai terganggu ketika saya menanyakan apa yang dia suka dari bekerja di
Kantor B. Dia mengatakan bahwa jadwal di kantor B sangat fleksibel dan itu
cocok untuk dia karena dia perempuan seraya mengangkat alis dan meninggikan
suara. Saya menangkap kesan bahwa dia ingin menyindir saya. Kemudian, saya
buru-buru berpikiran positif bahwa dia hanya mengungkapkan isi pikirannya.
Kemudian dia
sampai di bagian latar belakang pendidikan. Saya menyebutkan bahwa saya lulusan
ITB. F dengan tangkas menyebutkan bahwa dia tidak terlalu suka menerima anak
ITB dan UI. Menurutnya, lulusan ITB dan UI adalah overrated, alias gak
pintar-pintar amat dan pemalas. Dia agak oke dengan lulusan UGM dan ITS. Katanya, dia lebih suka
lulusan univeritas yang tidak terlalu terkenal, seperti Unand, USU, dan
lain-lain. Uh, enak saja si F ini, Unand dan USU itu adalah salah dua universitas besar yang berada di luar Pulau Jawa.
Saya hanya
tertawa saja mendengar ocehan si F ini. Dia mungkin bermaksud merendahkan ITB
dan UI saja, tapi secara dia secara tidak langsung juga merendahkan universitas
selain ITB dan UI itu sebagai universitas kelas dua. Lulusan ITB dan UI banyak yang bagus kok, sama seperti lulusan
universitas lainnya. Jika kepribadian mereka kurang bagus, mungkin itu faktor
lain.
Saya jadi
penasaran sendiri dengan almamaternya di F ini. Sayang sekali saya tidak
mendapatkan nama lengkapnya sehingga tidak bisa dilacak di Linkedin. Setelah interview, saya pun sempat mencari profil
beberapa karyawan yang bekerja di B ini, ternyata kebanyakan mereka memang
berasal dari universitas yang tidak terlalu terkenal. Saya sama sekali tidak
menganggap rendah mereka yang berasal dari universitas yang tidak terlalu
terkenal, saya hanya bingung dengan sikap F yang seolah menyimpan dendam kepada
lulusan ITB dan UI. Mau jadi apa perusahaan ini jika HR-nya seperti F ini?
Satu hal lagi
tentang interview di B ini: saya bahkan tidak disuguhi minuman apalagi makan
siang, mengingat jadwal interview ini melewati jam makan siang. Saya sempat
minum air mineral yang saya bawa sendiri di depan F, tapi HR jumawa ini tidak
bergeming atau merasa bersalah sedikit pun.
Ah, kalau begitu
caranya, selama masih ada F di situ dan kultur mereka masih begitu, saya rasa
PT B tak akan maju-maju.
Dan hasilnya?
Saya berharap mereka tak memanggil saya lagi karena saya takut juga mengalami dilema
jika diberi tawaran yang tak saya inginkan sementara saya butuh pekerjaan.
Allah Mengabulkan doa saya, sampai detik ini, mereka tak pernah lagi
menghubungi saya.
Perusahaan D
Perusahaan D
adalah salah satu target utama saya sebenarnya. Ketika mendapatkan info
lowongan, saya mengirimkan aplikasi. Seminggu kemudian pada suatu hari Jumat, Ibu
R mengubungi saya lewat telepon untuk menjadwalkan interview pada hari Kamis di
pecan selanjutnya.
Saya segera
memesan tiket ke Jakarta dan mem-booking
penginapan. Hari Sabtu dan Minggu saya isi dengan belajar.
Senin pagi, saya
mendapat email pembatalan interview. Iya, hanya email saja. Interview
dibatalkan, tapi saya kan sudah memesan tiket dan segala macam?
Saya lalu
menelpon Ibu R lagi, dia mengatakan bahwa interview saya dibatalkan bahwa mereka
sudah mengubah kualifikasi. Saya meminta penjelasan lebih lanjut, tapi mereka
mengatakan bahwa itu adalah keputusan dari user.
Saya lalu
menanyakan bagaimana dengan tiket pesawat saya, apakah akan diganti, mengingat
saya memesan tiket karena mereka memanggil saya interview. Ibu R dengan datar
mengatakan bahwa saya dan perusahaan D tidak membuat kesepakatan tentang
penggantian tiket sebelumnya. Saya mengatakan bahwa sudah ada kesepakatan sebelumnya,
yaitu pada waktu mereka mengirimkan jadwal interview dan ketika saya meng-accept-nya. Memangnya mau kesepatakan apa lagi? Apa interview juga harus
dengan surat bermaterai untuk membuatnya sah di mata hukum?
Saya juga
mengatakan kepada Ibu R bahwa saya tidak berkeberatan tiketnya tidak diganti,
tapi beri saya kesempatan untuk interview.
Ibu R menjanjikan
akan menindaklanjuti semuanya. Dan sampai tulisan ini dibuat, saya belum
mendengar kabar apa-apa lagi tentang penggantian tiket saya. Harga tiket itu
cukup mahal, yaitu satu bulan biaya makan saya.
Belakangan saya
tahu dari teman yang bekerja di perusahaan itu bahwa interview saya dibatalkan
karena 2 alasan, yaitu saya lebih dekat ke process
safety engineer daripada process
engineer, walaupun pengalaman saya sebagai process engineer lebih lama dibandingkan process safety engineer. Alasan lain kedua adalah bahwa mereka lebih mengutamakan kandidat
dari Jabodetabek.
Saya bisa
mengerti alasan yang pertama, tapi saya benar-benar gagal paham dengan alasan
yang kedua. Apakah ada regulasi tentang itu? Saya belum pernah mendengarnya.
Dan jika uang
ganti transportasi adalah penyebabnya, mengapa mereka memanggil saya. Dan
setelah tiket terbeli, saya pun rela tiket tidak diganti asalkan diberi
kesempatan interview, mereka lagi-lagi tidak mau.
Kata orang tua
saya, relakan dan ikhlaskan saja demi kedamaian hati saya sendiri. Yang namanya bukan rezeki, ada saja jalannya untuk tidak
jadi menuju kesana. Saya menurut karena itulah yang paling membuat saya menjadi
lebih plong dan jauh lebih tenang.
Akhirnya, tiket
itu saya pakai untuk jalan-jalan saja ke Jakarta.
|
Jalan-jalan ke Kota Tua |
Sekarang, setelah
semuanya berlalu, saya sudah bisa menertawakan semuanya. Saya makin percaya
bahwa semuanya ada yang mengatur. Tak hanya membuat pikiran saya lebih ringan,
tapi saya juga menyadari bahwa ada hal-hal yang berada di luar kontrol saya.
Saya tak harus merasa bersalah atau merasa gagal karena itu bukanlah kewenangan
saya. Saya wajib berusaha, tapi Allah lah yang menentukan semuanya. Saya juga
tahu bahwa Allah sedang Mendidik saya yang tidak sabaran ini untuk menjadi
pribadi yang kalem menghadapi hal-hal yang tidak sesuai dengan value saya yang saya hargai.
***
Apakah semua
interview yang gagal itu berakhir drama? Tidak juga. Ada satu interview yang
membuat saya jadi respek kepada recruiter-nya.