Tuesday, March 28, 2017

Jobless Saga – 3: Interview ‘Lucu-lucu’

Selepas menyandang status pengangguran, saya tak segera mendapatkan pekerjaan. Sementara satu persatu kolega mulai mendapatkan pekerjaan atau kesibukan baru.

Pada awalnya, saya masih bersemangat dan berpikiran positif. Saya juga selalu antusias jika mendengar ada mantan kolega yang sudah mendapatkan pekerjaan baru. Tak hanya senang melihat yang bersangkutan sudah keluar dari kesulitan, itu juga berarti saya punya channel baru di suatu perusahaan sehingga saya bisa menitipkan CV. Setelah tak mendapatkan tawaran yang solid setelah beberapa bulan, saya sebenarnya sempat mempertanyakan kemampuan diri saya sendiri dan apa added value yang bisa saya tawarkan kepada calon employer. Dari semuanya, saat-saat mempertanyakan self-worth inilah yang paling sulit. Alhamdulillah, di saat saya merasa down, selalu ada hal-hal yang kembali menaikkan rasa percaya diri saya. 

Saya sendiri sebenarnya beberapa kali mendapatkan respon dari aplikasi yang saya kirim, kebanyakan dari Jakarta, dan ada pula yang dari Belanda, negara yang saya anggap sebagai rumah ke-2 saya. Kebanyakan dari mereka tidak memberi kabar lagi setelah melakukan interview kecuali yang dari Belanda. Sudah merupakan suatu kebiasaan (atau budaya) di Belanda bahwa setiap interview harus ditindaklanjuti oleh feedback untuk menghindari ambiguitas. Di Indonesia tidak begitu. Jika tidak ada kabar, kemungkinan besar perusahaan yang kita lamar belum berminat.

Tapi tidak seluruhnya juga yang demikian. Sebelum memasuki perusahaan X yang akhirnya me-layoff saya ini, saya juga menjalani proses rekrutmen di perusahaan C yang merupakan perusahaan yang paling saya inginkan. Saya tidak mendengar kabar lagi dari mereka seteah 2 bulan sejak menjalani medical check-up. Pada saat saya sudah deal dengan X, C lalu memanggil. Saya harus menolak walaupun sebenarnya paket mereka sedikit lebih bagus. Alasan lain penolakan saya adalah, saya diberikan jabatan dan tempat bekerja yang tidak sesuai dengan yang saya inginkan. Sudahlah, namanya bukan rezeki.

Apa saya menyesal sekarang ini? Entahlah. Setiap kali saya menceritakan kepada orang lain tentang hal ini, kebanyakan dari mereka akan menyesalkan keputusan saya. Biarkan, saya yang paling tahu apa yang membuat saya senang, kok. Beruntung saya punya keluarga yang selalu suportif kepada saya sehingga saya selalu merasa nyaman dengan keadaan saya.

Singkat cerita, saya berhasil mendapatkan panggilan untuk interview, tapi ada beberapa yang tidak akan saya lupakan.

Perusahaan A

Ini adalah interview yang difasilitasi oleh seorang agen dari Singapura. Semua prosesnya serba cepat. Si agen berhasil mendapatkan jadwal interview untuk saya, tapi dia tidak menjelaskan detailnya, untuk project apa, dan termasuk nama orang dan fungsi yang meng-interview saya. Dan semuanya dilakukan dengan telepon, bukan email. Saya adalah orang yang nyaman dengan segala sesuatu yang ada hitam di atas putihnya. Jika tahu nama dan fungsi pewawancara, saya bisa kepo-in mereka di Linkedin untuk mendapatkan gambaran tentang latar belakang mereka. Gak hanya mereka yang akan mewawancara saya, saya juga harus mewawancarai mereka. 

Pada jam yang telah disepakati, saya mendapat panggilan telepon untuk interview (kami sepakat untuk phone interview). Ada 3 orang pewawancara saya.
  • Ternyata mereka menanyakan hal teknis yang sangat detail, seperti temperatur dan tekanan pada reaksi pembentukan ammonia. Saya dengan jujur mengatakan bahwa saya mengerjakan itu sudah lama sekali dan saya memang tidak berusaha mengingatnya.
  • Pewawancara lain dengan aksen Jawa yang sangat kental bersikeras menguji kemampuan Bahasa Inggris saya. Jujur, saya agak kesulitan pada saat itu karena saya bahkan tidak bisa menangkap apa yang dia katakan.
  • Lalu si pewawancara dari HR menanyakan apa yang saya lakukan setelah lulus sampai mendapatkan pekerjaan saya yang pertama sekali. Hmm, bukankah hal itu sudah lama. Mungkin akan lebih relevan jika dia menanyakan apa yang saya lakukan semasa menganggur.

Terus terang, saya agak kehilangan semangat melanjutkan proses rekrutmen. Dan gayung bersambut, mereka pun tidak memanggil saya lagi, hehe.

Perusahaan B
Setelah 2 hari mengirimkan aplikasi, saya dipanggil untuk interview oleh HR officer yang bernama A. Saya mengiyakan. Lalu, saya pun disuruh menyiapkan berbagai macam formulir isian dan mengirimkannya sebelum jadwal interview.

Saya pun berhasil mendapatkan tiket Padang-Jakarta. Pada hari H, saya langsung berangkat ke kantor B dari bandara, lengkap dengan gembolan besar karena saya berniat menginap di Jakarta selama 1 malam. Sesampai di kantor B dan melewati pengamanan yang sangat lemah, saya menuju resepsionis. Saya meminta supaya bisa tertemu dengan A.

Setengah jam menunggu, A keluar. Hebatnya, dia lupa siapa saya dan dia bahkan tidak ingat kalau dia menjadwalkan interview buat saya pada hari itu. Saya langsung tahu bahwa saya tak ingin bekerja di perusahaan seperti itu. Karena tak ingin menghakimi mereka, saya pun melanjutkan sesi interview.

Sesi pertama diisi oleh tes psikologi menggambar pohon dan kepribadian dengan buku soal yang sudah sangat lecek. Kertas jawaban saya pun berupa kertas bekas yang dibaliknya sudah ada tulisan. Tapi saya berprasangka baik bahwa mereka sedang melestarikan lingkungan dengan menghemat kertas. Bagus juga, paling gak, saya gak melihat poster-poster kertas tentang penghematan kertas di bagian kantor itu. Di tempat lain, saya pernah menemukan kampanye penghematan kertas yang ternyata malah boros kertas. Iya kalau kertas daur ulang, itu malah pakai kertas baru HVS 80 gram yang biasa dipakai untuk fotokopi.

Sesi kedua adalah wawancara teknikal. Semuanya berjalan lancar walaupun calon user saya mengatakan berkali-kali bahwa dia takut saya tidak betah bekerja di sana. Satu engineer yang lebih muda juga hadir pada waktu itu. Saya cukup respek padanya karena logikanya bagus. Saya harap dia akan mendapat karir yang cemerlang di masa mendatang.

Sesi ketiga seharusnya dengan A lagi, tapi tidak jadi karena A sudah pergi ke mall. Lalu A digantikan oleh F. Pada awalnya, F terlihat simpatik dan lebih berpendidikan. Saya mulai terganggu ketika saya menanyakan apa yang dia suka dari bekerja di Kantor B. Dia mengatakan bahwa jadwal di kantor B sangat fleksibel dan itu cocok untuk dia karena dia perempuan seraya mengangkat alis dan meninggikan suara. Saya menangkap kesan bahwa dia ingin menyindir saya. Kemudian, saya buru-buru berpikiran positif bahwa dia hanya mengungkapkan isi pikirannya.

Kemudian dia sampai di bagian latar belakang pendidikan. Saya menyebutkan bahwa saya lulusan ITB. F dengan tangkas menyebutkan bahwa dia tidak terlalu suka menerima anak ITB dan UI. Menurutnya, lulusan ITB dan UI adalah overrated, alias gak pintar-pintar amat dan pemalas. Dia agak oke dengan lulusan UGM dan ITS. Katanya, dia lebih suka lulusan univeritas yang tidak terlalu terkenal, seperti Unand, USU, dan lain-lain. Uh, enak saja si F ini, Unand dan USU itu adalah salah dua universitas besar yang berada di luar Pulau Jawa. 

Saya hanya tertawa saja mendengar ocehan si F ini. Dia mungkin bermaksud merendahkan ITB dan UI saja, tapi secara dia secara tidak langsung juga merendahkan universitas selain ITB dan UI itu sebagai universitas kelas dua. Lulusan ITB dan UI banyak yang bagus kok, sama seperti lulusan universitas lainnya. Jika kepribadian mereka kurang bagus, mungkin itu faktor lain.

Saya jadi penasaran sendiri dengan almamaternya di F ini. Sayang sekali saya tidak mendapatkan nama lengkapnya sehingga tidak bisa dilacak di Linkedin. Setelah interview, saya pun sempat mencari profil beberapa karyawan yang bekerja di B ini, ternyata kebanyakan mereka memang berasal dari universitas yang tidak terlalu terkenal. Saya sama sekali tidak menganggap rendah mereka yang berasal dari universitas yang tidak terlalu terkenal, saya hanya bingung dengan sikap F yang seolah menyimpan dendam kepada lulusan ITB dan UI. Mau jadi apa perusahaan ini jika HR-nya seperti F ini?

Satu hal lagi tentang interview di B ini: saya bahkan tidak disuguhi minuman apalagi makan siang, mengingat jadwal interview ini melewati jam makan siang. Saya sempat minum air mineral yang saya bawa sendiri di depan F, tapi HR jumawa ini tidak bergeming atau merasa bersalah sedikit pun.

Ah, kalau begitu caranya, selama masih ada F di situ dan kultur mereka masih begitu, saya rasa PT B tak akan maju-maju.

Dan hasilnya? Saya berharap mereka tak memanggil saya lagi karena saya takut juga mengalami dilema jika diberi tawaran yang tak saya inginkan sementara saya butuh pekerjaan. Allah Mengabulkan doa saya, sampai detik ini, mereka tak pernah lagi menghubungi saya.

Perusahaan D
Perusahaan D adalah salah satu target utama saya sebenarnya. Ketika mendapatkan info lowongan, saya mengirimkan aplikasi. Seminggu kemudian pada suatu hari Jumat, Ibu R mengubungi saya lewat telepon untuk menjadwalkan interview pada hari Kamis di pecan selanjutnya.

Saya segera memesan tiket ke Jakarta dan mem-booking penginapan. Hari Sabtu dan Minggu saya isi dengan belajar.

Senin pagi, saya mendapat email pembatalan interview. Iya, hanya email saja. Interview dibatalkan, tapi saya kan sudah memesan tiket dan segala macam?

Saya lalu menelpon Ibu R lagi, dia mengatakan bahwa interview saya dibatalkan bahwa mereka sudah mengubah kualifikasi. Saya meminta penjelasan lebih lanjut, tapi mereka mengatakan bahwa itu adalah keputusan dari user.

Saya lalu menanyakan bagaimana dengan tiket pesawat saya, apakah akan diganti, mengingat saya memesan tiket karena mereka memanggil saya interview. Ibu R dengan datar mengatakan bahwa saya dan perusahaan D tidak membuat kesepakatan tentang penggantian tiket sebelumnya. Saya mengatakan bahwa sudah ada kesepakatan sebelumnya, yaitu pada waktu mereka mengirimkan jadwal interview dan ketika saya meng-accept-nya. Memangnya mau kesepatakan apa lagi? Apa interview juga harus dengan surat bermaterai untuk membuatnya sah di mata hukum?

Saya juga mengatakan kepada Ibu R bahwa saya tidak berkeberatan tiketnya tidak diganti, tapi beri saya kesempatan untuk interview.

Ibu R menjanjikan akan menindaklanjuti semuanya. Dan sampai tulisan ini dibuat, saya belum mendengar kabar apa-apa lagi tentang penggantian tiket saya. Harga tiket itu cukup mahal, yaitu satu bulan biaya makan saya.

Belakangan saya tahu dari teman yang bekerja di perusahaan itu bahwa interview saya dibatalkan karena 2 alasan, yaitu saya lebih dekat ke process safety engineer daripada process engineer, walaupun pengalaman saya sebagai process engineer lebih lama dibandingkan process safety engineer. Alasan lain kedua adalah bahwa mereka lebih mengutamakan kandidat dari Jabodetabek.

Saya bisa mengerti alasan yang pertama, tapi saya benar-benar gagal paham dengan alasan yang kedua. Apakah ada regulasi tentang itu? Saya belum pernah mendengarnya.

Dan jika uang ganti transportasi adalah penyebabnya, mengapa mereka memanggil saya. Dan setelah tiket terbeli, saya pun rela tiket tidak diganti asalkan diberi kesempatan interview, mereka lagi-lagi tidak mau.

Kata orang tua saya, relakan dan ikhlaskan saja demi kedamaian hati saya sendiri. Yang namanya bukan rezeki, ada saja jalannya untuk tidak jadi menuju kesana. Saya menurut karena itulah yang paling membuat saya menjadi lebih plong dan jauh lebih tenang.

Akhirnya, tiket itu saya pakai untuk jalan-jalan saja ke Jakarta.

Jalan-jalan ke Kota Tua

Sekarang, setelah semuanya berlalu, saya sudah bisa menertawakan semuanya. Saya makin percaya bahwa semuanya ada yang mengatur. Tak hanya membuat pikiran saya lebih ringan, tapi saya juga menyadari bahwa ada hal-hal yang berada di luar kontrol saya. Saya tak harus merasa bersalah atau merasa gagal karena itu bukanlah kewenangan saya. Saya wajib berusaha, tapi Allah lah yang menentukan semuanya. Saya juga tahu bahwa Allah sedang Mendidik saya yang tidak sabaran ini untuk menjadi pribadi yang kalem menghadapi hal-hal yang tidak sesuai dengan value saya yang saya hargai.

***


Apakah semua interview yang gagal itu berakhir drama? Tidak juga. Ada satu interview yang membuat saya jadi respek kepada recruiter-nya. 
Load disqus comments

0 comments