Salah satu kenangan di TCC |
Setelah mengetahui bahwa saya akan di-layoff, saya
berusaha untuk tetap positif dan tetap tenang. Sore itu, saya langsung pergi
facial dan dilanjutkan dengan memanjakan diri sendiri. Saya harus siap dengan
keadaan ini secara mental, dan tentu saja fisik. Saya berharap supaya selalu
diberi kesehatan fisik dan mental untuk semua ini.
Walaupun begitu, sesampainya di kamar, saya menangis
sejadi-jadinya. Saya kecewa dengan keadaan. Mengapa harus saya? Saya berusaha
profesional dalam bekerja. Saya tak pernah membuang waktu kerja dengan pergi sarapan
lama-lama. Kadang-kadang, saya juga keluar lebih lama pada istirahat siang,
tapi itu selalu mendapat ijin dari atasan saya sebelumnya. Saya pun selalu
memasukkan jumlah reimburse pemakaian
uang kantor sesuai angka yang saya bayar. Dan saya sangat hati-hati dalam
bekerja.
Dunia
rasanya tidak adil!
Dan entah kenapa, setelah berpikir panjang. Malam itu
juga saya kembali positif. Saya kemudian yakin semua ada maksud dan hikmahnya.
Mungkin ada hal yang lebih baik dipersiapkan untuk saya. Toh, saya juga bukan
orang yang bego juga dalam bekerja. Dengan pengalaman dan segala kualifikasi
yang saya punya, saya yakin saya akan segera mendapatkan pekerjaan baru. Saya
sangat percaya bahwa saya bisa menawarkan banyak hal untuk perusahaan lain. Dan
setelah meng-google, ternyata layoff dapat terjadi pada siapa saja. Jangankan
layoff, orang-orang terbaik pun dalam bidangnya bahkan bisa dipecat dengan
berbagai alasan.
Tak ada hal yang memalukan dari semua itu. Pemutusan hubungan kerja atau layoff ini hanyalah salah satu dari bagian hidup. Mungkin tak terjadi pada semua orang,
tapi ini sangatlah normal. Saya sengaja tidak memberi kabar kepada keluarga di kampung
halaman karena tidak ingin membuat mereka kuatir.
Jika ditotalkan, jumlah karyawan yang di-layoff
mungkin mencapai 70% dari semuanya. Kompensasi yang diberikan juga berbeda-beda
sesuai dengan apa yang tertulis di dalam kontrak mereka. Ada yang biasa saja,
dan ada pula yang ‘wah’. Tapi yah begitulah, rejeki seseorang memang ada yang
mengatur, terlepas orang tersebut profesional atau tidak dalam bekerja.
Hampir semua orang ditawarkan (baca: dipaksa) untuk
keluar dari perusahaan. Jika keadaan industri migas baik-baik saja, saya yakin
semua orang akan rela mengambil paket perpisahan. Tapi dengan harga minyak yang
jatuh bebas, tentu rasanya lebih baik menetap, apalagi kompensasi dan benefit
dan diberi perusahaan relatif bagus.
Saya keluar di kloter ke-2. Jadi, pada hari terakhir
saya di kantor, masih ada banyak kolega yang mengucapkan selamat jalan dan
menyiapkan pesta perpisahan. Mereka akan meninggalkan pekerjaannya beberapa minggu setelah saya.
Menjelang hari terakhir saya di kantor, rasanya saya
sudah tak bisa konsentrasi penuh lagi dalam bekerja. Saya hanya sibuk
mem-backup data dan tentu saja mengirimkan aplikasi ke berbagai tempat.
Semangat dan rasa percaya diri saya masih tinggi pada waktu ini. Beberapa kali
saya sempat berpikir bahwa mungkin saja saya tak akan bertemu lagi dengan
beberapa orang kolega setelah ini.
Dan saya pun ingin membuat kenangan yang baik di
kantor, dengan kolega, terutama dengan mereka yang sudah ‘naik pangkat’ menjadi
teman. Ada beberapa drama kecil pula yang sempat terjadi pada masa ini, tapi
saya lebih memilih tidak mengungkit hal-hal itu. Ah, entahlah, di saat orang
lain sedang kesusahan, masih ada saja orang yang menciptakan drama tak penting.
Saya berharap saya tidak akan bertemu kolega seperti itu di masa mendatang.
Cukup sudah!
Sampai hari terakhir, belum ada juga kabar dari
aplikasi yang sudah saya kirim. Saya sebenarnya mengirim ke banyak perusahaan,
termasuk yang berada di luar sektor migas, seperti consumer goods, kontraktor,
EPC, bahkan PBB. Tapi saya masih bersemangat dan tetap percaya diri, saya yakin
Allah tak akan membiarkan saya dalam keadaan ini berlama-lama.
Pada hari Jumat itu, saya datang ke kantor dengan
perasaan bercampur aduk. Pada hari itu, saya bertekad melakukan hal-hal yang
tak biasanya saya lakukan, antara lain datang terlambat dan pergi menonton ke
bioskop pada saat jam kerja. Saya pun akhirnya memberanikan diri bertanya ke MV, bos disiplin tetangga perihal kenapa dia selalu memakai kemeja putih setiap hari, seolah-olah
dia tak punya baju lain. Saya sudah penasaran selama berbulan-bulan, hihi. Sedikit
OOT, MV ini adalah versi sangat senior dari TvT. Maka tak heran dia sering menarik perhatian saya, ups, haha. O, iya, menurut MV, orang-orang yang berada
pada pucuk kepemimpinan perusahaan punya dresscode sendiri, yaitu kemeja putih,
celana gelap, dan berdasi merah. Itu alasan MV memakai kemeja putih dan celana gelap, karena dia ingin mencapai top-level management. OK deh, Pak...! :)
Dan di Jumat itu pada sore harinya, saya melangkah
keluar gate untuk terakhir kalinya, diantarkan oleh Pak Satpam dengan memakai
lift VIP, yang sehari-harinya hanya dipakai oleh presiden direktur dan wakil-wakilnya. Dari kantor, saya diantarkan oleh teman saya yang bela-belain bawa
mobil dari rumah. Thanks, Wan.
Dan pada hari Jumat itu yang ternyata bertepatan
dengan hari ulang tahun saya, saya menyandang status pengangguran. Miris? Iya
banget, masa kado ulang tahunnya menjadi pengangguran? Huhuhu.
What's next? The drama continued...
0 comments