Sunday, March 26, 2017

Jobless Saga - 2: Berusaha Menerima

Salah satu kenangan di TCC

Setelah mengetahui bahwa saya akan di-layoff, saya berusaha untuk tetap positif dan tetap tenang. Sore itu, saya langsung pergi facial dan dilanjutkan dengan memanjakan diri sendiri. Saya harus siap dengan keadaan ini secara mental, dan tentu saja fisik. Saya berharap supaya selalu diberi kesehatan fisik dan mental untuk semua ini.

Walaupun begitu, sesampainya di kamar, saya menangis sejadi-jadinya. Saya kecewa dengan keadaan. Mengapa harus saya? Saya berusaha profesional dalam bekerja. Saya tak pernah membuang waktu kerja dengan pergi sarapan lama-lama. Kadang-kadang, saya juga keluar lebih lama pada istirahat siang, tapi itu selalu mendapat ijin dari atasan saya sebelumnya. Saya pun selalu memasukkan jumlah reimburse pemakaian uang kantor sesuai angka yang saya bayar. Dan saya sangat hati-hati dalam bekerja.

Dunia rasanya tidak adil!

Dan entah kenapa, setelah berpikir panjang. Malam itu juga saya kembali positif. Saya kemudian yakin semua ada maksud dan hikmahnya. Mungkin ada hal yang lebih baik dipersiapkan untuk saya. Toh, saya juga bukan orang yang bego juga dalam bekerja. Dengan pengalaman dan segala kualifikasi yang saya punya, saya yakin saya akan segera mendapatkan pekerjaan baru. Saya sangat percaya bahwa saya bisa menawarkan banyak hal untuk perusahaan lain. Dan setelah meng-google, ternyata layoff dapat terjadi pada siapa saja. Jangankan layoff, orang-orang terbaik pun dalam bidangnya bahkan bisa dipecat dengan berbagai alasan.

Tak ada hal yang memalukan dari semua itu. Pemutusan hubungan kerja atau layoff ini hanyalah salah satu dari bagian hidup. Mungkin tak terjadi pada semua orang, tapi ini sangatlah normal. Saya sengaja tidak memberi kabar kepada keluarga di kampung halaman karena tidak ingin membuat mereka kuatir.

Jika ditotalkan, jumlah karyawan yang di-layoff mungkin mencapai 70% dari semuanya. Kompensasi yang diberikan juga berbeda-beda sesuai dengan apa yang tertulis di dalam kontrak mereka. Ada yang biasa saja, dan ada pula yang ‘wah’. Tapi yah begitulah, rejeki seseorang memang ada yang mengatur, terlepas orang tersebut profesional atau tidak dalam bekerja.

Hampir semua orang ditawarkan (baca: dipaksa) untuk keluar dari perusahaan. Jika keadaan industri migas baik-baik saja, saya yakin semua orang akan rela mengambil paket perpisahan. Tapi dengan harga minyak yang jatuh bebas, tentu rasanya lebih baik menetap, apalagi kompensasi dan benefit dan diberi perusahaan relatif bagus.

Saya keluar di kloter ke-2. Jadi, pada hari terakhir saya di kantor, masih ada banyak kolega yang mengucapkan selamat jalan dan menyiapkan pesta perpisahan. Mereka akan meninggalkan pekerjaannya beberapa minggu setelah saya.

Menjelang hari terakhir saya di kantor, rasanya saya sudah tak bisa konsentrasi penuh lagi dalam bekerja. Saya hanya sibuk mem-backup data dan tentu saja mengirimkan aplikasi ke berbagai tempat. Semangat dan rasa percaya diri saya masih tinggi pada waktu ini. Beberapa kali saya sempat berpikir bahwa mungkin saja saya tak akan bertemu lagi dengan beberapa orang kolega setelah ini.

Dan saya pun ingin membuat kenangan yang baik di kantor, dengan kolega, terutama dengan mereka yang sudah ‘naik pangkat’ menjadi teman. Ada beberapa drama kecil pula yang sempat terjadi pada masa ini, tapi saya lebih memilih tidak mengungkit hal-hal itu. Ah, entahlah, di saat orang lain sedang kesusahan, masih ada saja orang yang menciptakan drama tak penting. Saya berharap saya tidak akan bertemu kolega seperti itu di masa mendatang. Cukup sudah!

Sampai hari terakhir, belum ada juga kabar dari aplikasi yang sudah saya kirim. Saya sebenarnya mengirim ke banyak perusahaan, termasuk yang berada di luar sektor migas, seperti consumer goods, kontraktor, EPC, bahkan PBB. Tapi saya masih bersemangat dan tetap percaya diri, saya yakin Allah tak akan membiarkan saya dalam keadaan ini berlama-lama.

Pada hari Jumat itu, saya datang ke kantor dengan perasaan bercampur aduk. Pada hari itu, saya bertekad melakukan hal-hal yang tak biasanya saya lakukan, antara lain datang terlambat dan pergi menonton ke bioskop pada saat jam kerja. Saya pun akhirnya memberanikan diri bertanya ke MV, bos disiplin tetangga perihal kenapa dia selalu memakai kemeja putih setiap hari, seolah-olah dia tak punya baju lain. Saya sudah penasaran selama berbulan-bulan, hihi. Sedikit OOT, MV ini adalah versi sangat senior dari TvT. Maka tak heran dia sering menarik perhatian saya, ups, haha. O, iya, menurut MV, orang-orang yang berada pada pucuk kepemimpinan perusahaan punya dresscode sendiri, yaitu kemeja putih, celana gelap, dan berdasi merah. Itu alasan MV memakai kemeja putih dan celana gelap, karena dia ingin mencapai top-level management. OK deh, Pak...! :)

Dan di Jumat itu pada sore harinya, saya melangkah keluar gate untuk terakhir kalinya, diantarkan oleh Pak Satpam dengan memakai lift VIP, yang sehari-harinya hanya dipakai oleh presiden direktur dan wakil-wakilnya. Dari kantor, saya diantarkan oleh teman saya yang bela-belain bawa mobil dari rumah. Thanks, Wan.

Dan pada hari Jumat itu yang ternyata bertepatan dengan hari ulang tahun saya, saya menyandang status pengangguran. Miris? Iya banget, masa kado ulang tahunnya menjadi pengangguran? Huhuhu.

Tapi sudahlah, semakin dipikirkan semakin menambah kesedihan. Lebih baik memikirkan hikmah yang ternyata juga sangat susah ditemukan pada waktu itu :)…

What's next? The drama continued...
Load disqus comments

0 comments