Satu hari, saya bertemu dengan beberapa mantan kolega dari tempat bekerja sebelumnya. Senang juga dengan keadaan bahwa kami sama-sama sudah berkarya kembali. Dengan segala kelebihan dan kekurangan apa yang sudah kami dapatkan sekarang ini, saya rasa saya harus mensyukurinya. Paling tidak, sudah ada cantolan dan aliran income masuk. Dan satu yang paling penting, keluarga saya menjadi jauh lebih lega.
Di tengah-tengah
pembicaraan, saya meminta mantan kolega tersebut untuk mencarikan info lowongan
untuk X, salah seorang kolega yang cukup akrab dengan saya. Saya memintakan
info kepada mereka karena skill pool-nya X lebih dekat dengan mereka. Lalu,
salah seorang berkata,
“Aaaaah, dia kan ada
suami. Yang stress itu, kita ini, laki-laki. Laki-laki itu beda”.
Lalu, yang lain menyambung,
“Enak sebenarnya dia.
Duduk-duduk di rumah aja. Ibu-ibu mah gak usah stress. Benar itu, stress
laki-laki itu beda. Kami kepala keluarga”
Terus terang, saya
lumayan upset mendengar pernyataan mereka ini. Mengapa jadi meremehkan
kesulitan orang lain. Apa susahnya berempati. Atau seandainya jika tidak
terlalu berniat membantu, paling tidak jangan sampai mengecilkan tantangan
hidup yang sedang dilalui orang lain. Jika mendengar perkataan mereka, saya
pikir X, teman mereka juga, tak akan merasa lebih baik perasaannya.
Beban dan jalan hidup
orang itu berbeda-beda. Apa yang kita anggap ringan bisa saja menjadi berat
buat orang lain. Dan sebaliknya, apa yang menjadi berat bagi kita, bisa saja
menjadi ringan orang lain.
Dan satu lagi, jika
mereka memang laki-laki…mmm, masa laki-laki yang katanya kepala keluarga membandingkan tantangan hidupnya
dengan perempuan? Cemen ah!
OK. Bolehlah mereka
menyangka ‘penderitaan’ mereka lebih berat karena mereka tulang punggung
keluarga. Tapi banyak juga perempuan yang menjadi tulang punggung keluarganya
dengan beragam alasan sekarang ini. Dan dia tak harus mengabarkan pada dunia
bahwa dialah yang menjadi tumpuan utama finansial keluarga.
Permintaan saya waktu
itu hanya satu: Tolong carikan pekerjaan buat X.
Jawabannya: iya atau
tidak.
As simple as that.
Saya tidak pernah suka
yang namanya stereotipe atau asumsi yang diambil sendiri. Contohnya, pada masa
awal-awal di-layoff dulu, beberapa orang menganggap bahwa si Y, yang berstatus
lajang, tak akan mengalami kesulitan karena dia tak punya tanggungan.
Hey! Sekali lagi,
berempatilah terlebih dahulu.
Hanya karena si Y
masih lajang, tak berarti dia tak punya pengeluaran. Orang lajang punya pengeluaran
juga, dan tentunya tanggungan juga. Sudahlah tanggungan mereka ini tak bisa
didaftarkan sebagai tanggungan resmi dan tentunya tetap saja mengeluarkan sejumlah
uang untuk itu, keadaannya disepelekan pula. Lalu, apa karena dia lajang dan (seandainya) pun tak punya
tanggungan, dia tak layak diberi empati?
Apakah mereka-mereka
yang terbuka dengan cerita drama pilu hidupnya saja yang layak diberikan
bantuan?
Apakah orang yang
terlihat baik-baik saja memang sebenarnya baik-baik saja?
Kolega saya yang juga
lajang punya cerita lain. Sebagai anak tunggal dari orang tuanya, dia lah
satu-satunya yang bisa menjaga ortunya. Ortunya sudah lanjut usia. Kolega saya
ini harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan dirinya, kebutuhan ortunya,
dan sekaligus menjaga mereka. Dia hanya tersenyum tipis setiap kali ada orang
(sok tau) yang bilang bahwa hidupnya bebas karena tak punya tanggungan dan
anak-anak yang perlu dijaga. Dia bukannya tak suka merawat kedua ortunya. Hanya
saja, dia tak suka dikomentari oleh orang sok tau.
Ternyata, berempati
susah sekali.
Padahal, kita hanya
perlu menempatkan diri di posisi orang lain. Memang, kita tak selalu tahu apa
yang terjadi pada orang. Kita tak selalu mendapat cerita lengkap atas segala
sesuatu. Maka paling tidak, berempatilah.
Jobless is jobless. It
is a stressful life changing event. Tekanan yang diakibatkan oleh perubahan status menjadi pengangguran sama dengan tekanan yang dialami ketika kehilangan anggota keluarga, perceraian, dan sakit luar biasa. Siapapun yang tidak menginginkannya pasti akan
merasa tertekan, terlepas mereka lajang atau menikah, laki-laki ataupun perempuan, fresh graduate ataupun mendekati masa pensiun.
0 comments