Monday, April 24, 2017

Jobless Saga - 5 :Stress Jobless Tak Mengenal Gender dan Status Pernikahan



Satu hari, saya bertemu dengan beberapa mantan kolega dari tempat bekerja sebelumnya. Senang juga dengan keadaan bahwa kami sama-sama sudah berkarya kembali. Dengan segala kelebihan dan kekurangan apa yang sudah kami dapatkan sekarang ini, saya rasa saya harus mensyukurinya. Paling tidak, sudah ada cantolan dan aliran income masuk. Dan satu yang paling penting, keluarga saya menjadi jauh lebih lega.

Di tengah-tengah pembicaraan, saya meminta mantan kolega tersebut untuk mencarikan info lowongan untuk X, salah seorang kolega yang cukup akrab dengan saya. Saya memintakan info kepada mereka karena skill pool-nya X lebih dekat dengan mereka. Lalu, salah seorang berkata,

“Aaaaah, dia kan ada suami. Yang stress itu, kita ini, laki-laki. Laki-laki itu beda”.

Lalu, yang lain menyambung,

“Enak sebenarnya dia. Duduk-duduk di rumah aja. Ibu-ibu mah gak usah stress. Benar itu, stress laki-laki itu beda. Kami kepala keluarga”

Terus terang, saya lumayan upset mendengar pernyataan mereka ini. Mengapa jadi meremehkan kesulitan orang lain. Apa susahnya berempati. Atau seandainya jika tidak terlalu berniat membantu, paling tidak jangan sampai mengecilkan tantangan hidup yang sedang dilalui orang lain. Jika mendengar perkataan mereka, saya pikir X, teman mereka juga, tak akan merasa lebih baik perasaannya.

Beban dan jalan hidup orang itu berbeda-beda. Apa yang kita anggap ringan bisa saja menjadi berat buat orang lain. Dan sebaliknya, apa yang menjadi berat bagi kita, bisa saja menjadi ringan orang lain.

Dan satu lagi, jika mereka memang laki-laki…mmm, masa laki-laki yang katanya kepala keluarga membandingkan tantangan hidupnya dengan perempuan? Cemen ah!

OK. Bolehlah mereka menyangka ‘penderitaan’ mereka lebih berat karena mereka tulang punggung keluarga. Tapi banyak juga perempuan yang menjadi tulang punggung keluarganya dengan beragam alasan sekarang ini. Dan dia tak harus mengabarkan pada dunia bahwa dialah yang menjadi tumpuan utama finansial keluarga.

Permintaan saya waktu itu hanya satu: Tolong carikan pekerjaan buat X.
Jawabannya: iya atau tidak.

As simple as that.

Saya tidak pernah suka yang namanya stereotipe atau asumsi yang diambil sendiri. Contohnya, pada masa awal-awal di-layoff dulu, beberapa orang menganggap bahwa si Y, yang berstatus lajang, tak akan mengalami kesulitan karena dia tak punya tanggungan.

Hey! Sekali lagi, berempatilah terlebih dahulu.

Hanya karena si Y masih lajang, tak berarti dia tak punya pengeluaran. Orang lajang punya pengeluaran juga, dan tentunya tanggungan juga. Sudahlah tanggungan mereka ini tak bisa didaftarkan sebagai tanggungan resmi dan tentunya tetap saja mengeluarkan sejumlah uang untuk itu, keadaannya disepelekan pula. Lalu, apa karena dia lajang dan (seandainya) pun tak punya tanggungan, dia tak layak diberi empati?

Apakah mereka-mereka yang terbuka dengan cerita drama pilu hidupnya saja yang layak diberikan bantuan?

Apakah orang yang terlihat baik-baik saja memang sebenarnya baik-baik saja?

Kolega saya yang juga lajang punya cerita lain. Sebagai anak tunggal dari orang tuanya, dia lah satu-satunya yang bisa menjaga ortunya. Ortunya sudah lanjut usia. Kolega saya ini harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan dirinya, kebutuhan ortunya, dan sekaligus menjaga mereka. Dia hanya tersenyum tipis setiap kali ada orang (sok tau) yang bilang bahwa hidupnya bebas karena tak punya tanggungan dan anak-anak yang perlu dijaga. Dia bukannya tak suka merawat kedua ortunya. Hanya saja, dia tak suka dikomentari oleh orang sok tau.

Ternyata, berempati susah sekali.

Padahal, kita hanya perlu menempatkan diri di posisi orang lain. Memang, kita tak selalu tahu apa yang terjadi pada orang. Kita tak selalu mendapat cerita lengkap atas segala sesuatu. Maka paling tidak, berempatilah.

Jobless is jobless. It is a stressful life changing event. Tekanan yang diakibatkan oleh perubahan status menjadi pengangguran sama dengan tekanan yang dialami ketika kehilangan anggota keluarga, perceraian, dan sakit luar biasa. Siapapun yang tidak menginginkannya pasti akan merasa tertekan, terlepas mereka lajang atau menikah, laki-laki ataupun perempuan, fresh graduate ataupun mendekati masa pensiun. 


Load disqus comments

0 comments