Tuesday, March 8, 2022

#BreakTheBias

 Hari ini ada acara kantor, tentunya masih diadakan di Ms Teams. Beberapa hari sebelumnya, saya sudah mendapat 2 kiriman paket goodies yang isinya bagus-bagus semua. 

I love it! I love it!

Tadi pagi, saya mendapat email lagi bahwa kami diperbolehkan memesan makan siang dan bisa diklaim ke kantor, paling banyak Rp 200.000,-

Alhamdulillah, rejeki emang gak kemana.

Maka tibalah hari H dan jam D. Sebagai anak titipan, saya sebenarnya gak terlalu paham apa yang mereka presentasikan. Ini bukan line business saya. Tapi enjoy aja, lumayan untuk menambah pengetahuan. Dan saya cukup senang diundang untuk join ke acara ini. Seandainya ini bukan di masa COVID-19, pastilah kami akan diajak menginap di hotel dan mengundang artis ibukota sebagai salah satu tamunya.

Sampailah acara ke sesi kuis. Temanya adalah English Premier League, dengan 6 pertanyaan. Sebagai penonton setia sepakbola selama bertahun-tahun, saya cukup percaya diri. Ah, tapinya English Premier League bukanlah favorit saya waktu itu. Saya lebih suka Lega Calcio Serie A karena banyak pemain ganteng, hehe. Tapi waktu mampir ke Italia tahun 2013 silam, saya hanya menyempatkan main ke San Siro di Milan. Sementara waktu main ke London, saya bela-belain mampir ke markas Arsenal dan Chelsea.

Balik lagi ke acara tadi. Saya juga tak menyangka bahwa saya bisa menjawab sampai pertanyaan ke-5. Saya bahkan ada di peringkat 1 dan skor saya di atas para bapak-bapak. Si Mas MC mulai berkomentar kurang lebih seperti, "Wah, perempuan juga tahu bola", etc. 

Yaelah, Mas. Udah banyak kali cewek-cewek yang suka bola. Dari jaman SMU aja dulu, beberapa teman saya yang cewek juga menonton bola, walaupun itu setelah saya racuni, hehe.

Dan tibalah di pertanyaan terakhir. Tentang pelatih Leicester City yang berhasil membawa klub menjuarai Liga Inggris tahun 2016. 

Tentu saja jawabnya, Claudio Ranieri! Dan saya malah memencet kotak yang merepresentasikan Jurgen Klopp. Ini artinya, saya juga tersingkir dari podium juara kuis.

Yah, namanya juga bukan rejeki. Ada saja yang bikin gak jadi. 

Namun saya terganggu dengan ucapan si Mas MC, "Wah, untung gak ada perempuan yang jadi juara."

Becanda? Then, it is not funny. 

Di Hari International Women's Day dengan tema #BreakTheBias, masih ada aja bapak-bapak yang gak rela dikalahkan perempuan untuk hal-hal yang konon jadi lahannya laki-laki, seperti halnya sepakbola ini.


Read more

Tuesday, January 18, 2022

2022 is coming!

My last post was in 2018. Gosh, it was 4 years ago. Time flies so fast, especially because of this pandemic.

As planned, this blog is intended to write what I think and how I feel whereas the other one (the wordpress one) is intended for the trip stories. I have business trips lining-up, hopefully they can be realised soon. I miss taking on a flight, especially a long-haul flight.

Many things happened during this 4 years. I lost my grandparents, I got a new job and moved to a new house. It's good to be at home, my own home.

I am watching The Return of Superman on Youtube now, the variety show about parenting, particularly about fathers do child-rearing without their wives' support. It is interesting and the kids are adorable. The fathers too. They are not the so-called typical fathers who roams in your WAGs and complain about their kids and wives, haha.

I love all the kids. However, my biases are Song triplets, Lee siblings, Park siblings, Haoh, and Seungjae.

I have a lot to think about at this moment. So, bye for now.

Bonus: Gun-hoo's picture

Source: KBS, Pinterest




Read more

Thursday, July 12, 2018

Solved! Menampilkan Kolom Komentar Disqus dengan 'https'





Assalamu'alaykum pembaca,

Emang ada yang baca? Hehe.

Sudah lama sekali gak mampir di sini. Kira-kira sudah satu tahun blog ini tidak disentuh. Blog yang satu lagi agak lumayan sih, tapi gak sering juga. Di blog jalan-jalan, masih banyak sekali cerita jalan-jalan yang belum di-share

Pembaca blog sebelah lumayan banyak, sekitar 2000 unique hits per bulan, tapi kebanyakan jadi silent reader. Gak papalah, yang penting bisa memberi manfaat bagi pembacanya :)

Setelah setahun lebih, akhirnya Kolom Komentar Disqus-nya sudah bisa loading, dan tetap dengan hyperlink 'https'. Dulu, Disqus-nya hanya bisa loading jika di-setting dengan 'http', sementara langsung macet jika diganti dengan 'https'. Tapi 'http' ini kan kurang aman, karena bisa dengan mudah diserang oleh hacker. Lah, siapa juga yang akan meng-hack blog ini sih, hehe. Gapapa lah, itung-itung belajar istilah-istilah dunia per-blog-an. 

Jadi begini cara menampilkan Kolom Komentar Disqus-nya:

Cari 'funtion load comment', yang kode HTML-nya kira-kira seperti ini:

 

Sesudah 'http', tambahkan 's' menjadi 'https' sehingga keseluruhannya menjadi kode HTML di bawah.



Voila!

Dan Kolom Komentar Disqus-nya sudah bisa loading jika diklik.


 



Mengutak-atik kode HTML memang asyik dan bikin lupa waktu. I am really into it, so to speak, hehe. Moga-moga, Insya Allah bisa benar-benar mahir dan bisa jadi blogger beneran. Aamiin.



Read more

Saturday, July 22, 2017

Orangnya Baik Kok…




Jika ada yang berpendapat demikian tentang seseorang, akan saya kejar dengan pertanyaan selanjutnya, “Baik maksudnya gimana?

Dan biasanya jawabannya akan berkisar seperti berikut ini:

                “Yaaaa…baik gitu lah”. - Heh? Eventually, respect saya luntur begitu tahu si ‘orang baik’ menyewa jasa antrian di sebuah instansi pemerintahan.
                “Gak ada yang aneh-aneh tentang orangnya”. - Maksudnya aneh-aneh bagaimana?
                “Rajin ibadah kok, suka kasih sumbangan juga.” – Koruptor juga sering kok kasih sumbangan.
                “Ramah, suka negur, suka traktir, kalau abis jalan-jalan pasti dikasih oleh-oleh.” – Maksudnya orang bokek gak bisa jadi orang baik karena gak bisa kasih sesuatu?
Read more

Monday, April 24, 2017

Jobless Saga - 5 :Stress Jobless Tak Mengenal Gender dan Status Pernikahan



Satu hari, saya bertemu dengan beberapa mantan kolega dari tempat bekerja sebelumnya. Senang juga dengan keadaan bahwa kami sama-sama sudah berkarya kembali. Dengan segala kelebihan dan kekurangan apa yang sudah kami dapatkan sekarang ini, saya rasa saya harus mensyukurinya. Paling tidak, sudah ada cantolan dan aliran income masuk. Dan satu yang paling penting, keluarga saya menjadi jauh lebih lega.

Di tengah-tengah pembicaraan, saya meminta mantan kolega tersebut untuk mencarikan info lowongan untuk X, salah seorang kolega yang cukup akrab dengan saya. Saya memintakan info kepada mereka karena skill pool-nya X lebih dekat dengan mereka. Lalu, salah seorang berkata,

“Aaaaah, dia kan ada suami. Yang stress itu, kita ini, laki-laki. Laki-laki itu beda”.

Lalu, yang lain menyambung,

“Enak sebenarnya dia. Duduk-duduk di rumah aja. Ibu-ibu mah gak usah stress. Benar itu, stress laki-laki itu beda. Kami kepala keluarga”

Terus terang, saya lumayan upset mendengar pernyataan mereka ini. Mengapa jadi meremehkan kesulitan orang lain. Apa susahnya berempati. Atau seandainya jika tidak terlalu berniat membantu, paling tidak jangan sampai mengecilkan tantangan hidup yang sedang dilalui orang lain. Jika mendengar perkataan mereka, saya pikir X, teman mereka juga, tak akan merasa lebih baik perasaannya.

Beban dan jalan hidup orang itu berbeda-beda. Apa yang kita anggap ringan bisa saja menjadi berat buat orang lain. Dan sebaliknya, apa yang menjadi berat bagi kita, bisa saja menjadi ringan orang lain.

Dan satu lagi, jika mereka memang laki-laki…mmm, masa laki-laki yang katanya kepala keluarga membandingkan tantangan hidupnya dengan perempuan? Cemen ah!

OK. Bolehlah mereka menyangka ‘penderitaan’ mereka lebih berat karena mereka tulang punggung keluarga. Tapi banyak juga perempuan yang menjadi tulang punggung keluarganya dengan beragam alasan sekarang ini. Dan dia tak harus mengabarkan pada dunia bahwa dialah yang menjadi tumpuan utama finansial keluarga.

Permintaan saya waktu itu hanya satu: Tolong carikan pekerjaan buat X.
Jawabannya: iya atau tidak.

As simple as that.

Saya tidak pernah suka yang namanya stereotipe atau asumsi yang diambil sendiri. Contohnya, pada masa awal-awal di-layoff dulu, beberapa orang menganggap bahwa si Y, yang berstatus lajang, tak akan mengalami kesulitan karena dia tak punya tanggungan.

Hey! Sekali lagi, berempatilah terlebih dahulu.

Hanya karena si Y masih lajang, tak berarti dia tak punya pengeluaran. Orang lajang punya pengeluaran juga, dan tentunya tanggungan juga. Sudahlah tanggungan mereka ini tak bisa didaftarkan sebagai tanggungan resmi dan tentunya tetap saja mengeluarkan sejumlah uang untuk itu, keadaannya disepelekan pula. Lalu, apa karena dia lajang dan (seandainya) pun tak punya tanggungan, dia tak layak diberi empati?

Apakah mereka-mereka yang terbuka dengan cerita drama pilu hidupnya saja yang layak diberikan bantuan?

Apakah orang yang terlihat baik-baik saja memang sebenarnya baik-baik saja?

Kolega saya yang juga lajang punya cerita lain. Sebagai anak tunggal dari orang tuanya, dia lah satu-satunya yang bisa menjaga ortunya. Ortunya sudah lanjut usia. Kolega saya ini harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan dirinya, kebutuhan ortunya, dan sekaligus menjaga mereka. Dia hanya tersenyum tipis setiap kali ada orang (sok tau) yang bilang bahwa hidupnya bebas karena tak punya tanggungan dan anak-anak yang perlu dijaga. Dia bukannya tak suka merawat kedua ortunya. Hanya saja, dia tak suka dikomentari oleh orang sok tau.

Ternyata, berempati susah sekali.

Padahal, kita hanya perlu menempatkan diri di posisi orang lain. Memang, kita tak selalu tahu apa yang terjadi pada orang. Kita tak selalu mendapat cerita lengkap atas segala sesuatu. Maka paling tidak, berempatilah.

Jobless is jobless. It is a stressful life changing event. Tekanan yang diakibatkan oleh perubahan status menjadi pengangguran sama dengan tekanan yang dialami ketika kehilangan anggota keluarga, perceraian, dan sakit luar biasa. Siapapun yang tidak menginginkannya pasti akan merasa tertekan, terlepas mereka lajang atau menikah, laki-laki ataupun perempuan, fresh graduate ataupun mendekati masa pensiun. 


Read more

Wednesday, April 19, 2017

Panggilan di Lingkungan Kerja: Bu, Mbak, atau…Bun?

Pagi itu saya sedang dalam proses untuk mendapatkan akses untuk sebuah folder. Setelah korespondensi yang cukup berbelit, akhirnya saya dihubungi oleh seorang teknisi IT. Dia seorang perempuan muda. Sebelumnya, dia sudah sering menghubungi saya untuk memberikan support IT.

Mbak atau Ibu?


Dan kira-kira pembicaraan kami: Santi (S), IT Lady (IT)
S: Bu IT, saya perlu akses ke Folder V, mohon dibantu, saya sudah kirim tiketnya.
IT: Baik, Bu. Tunggu sebentar ya.
S: Iya.

Setelah sekitar 2 menit menunggu,
IT: Matriksnya berapa, Bun?

Mmm, saya pikir dia salah alamat. Tapi karena urusan saya harus segera, saya menanggapi.
S: “Matriksnya berapa, Bun?” --> ini salah alamat?
IT: Iya, Bun. Kalo minta akses folder harus ada matriksnya gitu.

Ternyata benar ditujukan untuk saya. Whattt??? Berasa online shop, deh….

S: Agak aneh ya dipanggil Bun. Berasa online shop. Panggil Mbak aja.
IT: Oh, kalau gitu panggil saya Mbak jugaaaa…

Saya hanya menghela nafas. Ini lingkungan profesional. Di samping itu, saya sama sekali tidak kenal dengan dia. Dan saya dipanggil Bunda. Terlepas dari seseorang punya anak atau tidak, ingin jadi Ibu atau tidak, yang saya tahu, tidak semua wanita nyaman dipanggil Bunda.

Di luar pun, seperti di mall, pasar atau toko, saya juga tidak suka dengan panggilan ban bun ban bun.

Sebelumnya, saya mempunyai beragam macam panggilan di lingkungan kantor. Mulai dari nama sendiri, Ibu, Mba, Uni, Uni Ajo (karena saya sering jadi koordinator pemesanan sate Ajo Ramon, haha). Saya tidak keberatan dengan semua itu.

Tapi dipanggil Bunda baru sekarang ini. Bukannya tidak mau menjadi Bunda, saya hanya tak mau dipanggil Bunda oleh sembarangan orang, dan tentunya bukan oleh teknisi IT ini.


Entahlah, mungkin saya yang terlalu kaku atau lingkungan kerja ini yang terlalu cair…

Dan entahlah, kadangkala seseorang memanggil orang lain dengan harapan ingin menghormati atau mendoakan. Jika yang dipanggil tidak menyukai 'penghormatan' atau tidak nyaman dengan 'doa' tersebut, mengapa masih diteruskan?
Read more